Kamis, 06 November 2008

ANALISA PSIKOLOGIS TENTANG PERNIKAHAN USIA DINI PADA KASUS SYEIKH PUJI


KASUS SYEIKH PUJI

Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji, kiai yang juga pengusaha kaligrafi dari Kuningan menikahi secara siri Lutfiana Ulfa seorang gadis yang baru berusia 12 tahun pada 8 Agustus 2008. Pernikahan kali ini merupakan pernikahan yang kedua dari syeikh puji. Pernikahan yang kedua ini telah mendapat restu dari istri pertama syeikh puji, karena telah melalui seleksi. Ulfa tergolong gadis yang pintar dan selalu mendapat ranking dalam kelasnya, sehingga syeikh puji memilihnya untuk dijadikan istri. Dengan dibekali beberapa ilmu tentang menagement agar suatu saat ulfa dapat meneruskan salah satu perusahann milik syeikh puji.
Pernikahan Syekh Puji sekalipun mendapat kecaman LSM perlindungan anak dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), tidak membuat Syekh Puji bergeming. Pria ini mengaku kalau langkahnya sesuai dengan ajaran agama. Kematangan fisik seorang anak tidak sama dengan kematangan psikologinya sehingga meskipun anak tersebut memiliki badan besar dan sudah menstruasi, secara mental si anak belum siap untuk berhubungan seks. Dalam undang- undang perkawinan, usia minimal seorang perempuan melaksanakan perkawinan adalah 16 tahun.

Saat ditanya apakah bocah-bocah di bawah umur itu bersedia ia nikahi, Syekh Puji menjawab sambil terkekeh, “Wong mereka sudah menyatakan cintanya kepada saya. (Ulfa bilang) Saya cinta Syekh Puji.”
Ketika dikatakan bahwa pernikahannya dengan gadis cilik itu menimbulkan pro-kontra di masyarakat, Syekh Puji beralasan pernikahan tersebut ia lakukan berdasarkan ajaran agama. “Saya punya dasar agama juga. Enggak ngawur,” katanya. Syekh Puji mengatakan, dia mengikuti Rasulullah SAW yang menikahi Aisyah, gadis berumur 7 tahun. Namun, Rasulullah tidak bercampur dengan Aisyah hingga si gadis akil baliq. Syekh Puji pun tidak akan bercampur dengan istri-istri ciliknya sebelum mereka akil baliq.s




ANALISA KASUS

Secara psikologis manusia yang sehat adalah yang bisa menyelesaikan tugas perkembangannya dengan baik, teratur, tepat pada masing-masing tahap perkembangannya yaitu masa kanak-kanak, masa remaja dan masa dewasa (Hurlock,1983). Salah satu tugas perkembangannya pada masa dewasa awal adalah hidup dengan pasangan yang artinya adalah menikah untuk kemudian menjalani hidup bersama dengan suami atau istri dalam ikatan perkawinan. Menurut Harahap (1993) perkawinan adalah merupakan awal dari kehidupan berkeluarga sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundangan yang berlaku. Perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi ketentuan agama merupakan perzinaan, dan perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi ketentuan perundangan yang berlaku dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan berkeluarganya dikemudian hari.
Dari sudut pandang biologis usia ideal untuk menikah bagi wanita 20-30 tahun, dan bagi laki-laki 25-30 tahun. Hal tersebur terkait dengan reproduksi produktif.
Masalah dalam kasus ini tidak umum menikahi anak umur 11 tahun, apalagi masalah perkawinan sudah diatur dalam hukum negara. Ini yang akan menjadi satu dilemma bagi umat Islam dalam mengambil sikap. Jika hal tersebut diterima dan dianggap benar dan haq, maka Syek Puji ini akan menjadi trendsetter, dan seperti dalam tulisan sebelumnya, akan memuluskan jalan para pedophile untuk melegalkan nafsunya terhadap anak kecil.
Dalam masyarakat sering kita jumpai bermacam-macam permasalahan yang dialami manusia. Beberapa permasalahan yang dialami manusia karena adanya suatu tantangan atau beban yang memaksa seseorang melakukan suatu tindakan yang belum waktunya, salah satunya yaitu pernikahan dini yang dialami oleh ulfa.
Bila dilihat secara psikologis seseorang dikatakan telah mampu berkeluarga apabila telah mencapai umur 19/21 tahun. Pernikahan tanpa didasari kematangan emosional akan berdampak pada kehidupan keluarganya, salah satunya akan berpengaruh terhadap bagaimana pasangan muda tersebut dalam mendidik anak. Karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan paling utama yang nantinya akan membekas dalam perilaku, perkembangan anak.
Dalam perkawinan sendiri dituntut tingkat kedewasaan yang cukup bagi seseorang, agar suami istri dapat menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan bijak. Tantangan dalam sebuah perkawinan adalah bagaimana suami dan istri mau menyatukan berbagai perbedaan yang mereka miliki; entah itu karakter, gaya hidup, kebiasaan-kebiasaan, ekonomi, pandangan hidup, dan lain-lain. Dengan kata lain, kedewasaan dalam hal ini adalah kemampuan menunjukkan sikap toleransi dan saling menghargai antarpasangan. Bila tidak, gara-gara masalah sepele seperti tidak meletakkan handuk pada tempatnya, tidur ngorok, atau sering lupa janji dapat memicu berbagai pertengkaran. Apalagi jika buah hati telah hadir. Persoalan akan semakin ruwet, karena tanggung jawab dan masalah yang dihadapi lebih besar lagi.
Tingkat kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun. Hal ini karena di usia itu seseorang mulai memasuki tahap dewasa. Masa remaja sendiri baru berakhir pada usia 19 tahun. Lalu usia 20-24 tahun dalam psikologi dikatakan sebagai masa usia dewasa muda. Di usia inilah banyak timbul transisi dari masa remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Kesimpulannya, usia di bawah 20 tahun merupakan usia seseorang masih menemukan jati dirinya atau emosinya belumlah stabil. Padahal, stabilitas emosi adalah kunci sukses langgengnya perkawinan.
Dengan emosi yang mantap, pasangan bisa menyelesaikan masalah apa pun dengan lebih tenang dan jernih. Masing-masing pihak mencari solusi, bukan menuruti egonya sendiri. Emosi yang labil juga kerap membuat pasangan posesif.


0 komentar: